Jakarta, 18 September 2024 – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 September 2024 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%. Keputusan ini konsisten dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi pada tahun 2024 dan 2025 yang terkendali dalam sasaran 2,5±1%, penguatan dan stabilitas nilai tukar Rupiah, dan perlunya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan sesuai dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, nilai tukar Rupiah yang stabil dan cenderung menguat, serta pertumbuhan ekonomi yang perlu terus didorong agar lebih tinggi. Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran juga terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Kebijakan sistem pembayaran diarahkan juga untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan dan UMKM, memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
Arah bauran kebijakan kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tersebut didukung dengan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:
- Penguatan strategi operasi moneter pro-market untuk menarik berlanjutnya aliran masuk modal asing guna memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah dan efektivitas transmisi kebijakan moneter dengan:
- menjaga struktur suku bunga di pasar uang Rupiah untuk daya tarik imbal hasil bagi aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik;
- mengoptimalkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI);
- memperkuat strategi transaksi term-repo dan swap valas yang kompetitif; dan
- memperkuat peran Primary Dealer (PD) untuk semakin meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar;
- Penguatan strategi stabilisasi nilai tukar Rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder;
- Penguatan publikasi asesmen transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman pada suku bunga kredit berdasarkan sektor prioritas yang menjadi cakupan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (Lampiran);
- Perluasan akseptasi digital melalui edukasi kepada merchant QRIS terkait penggunaan QRIS antarnegara, edukasi penggunaan Kartu Kredit Indonesia (KKI) segmen Pemerintah serta perluasan digitalisasi transaksi Pemerintah Daerah melalui penyelenggaraan Rapat Koordinasi Nasional Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD) 2024; dan
- Penguatan struktur industri dalam rangka implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 melalui peningkatan implementasi sertifikasi kompetensi di bidang sistem pembayaran.
Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Koordinasi kebijakan dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah) ditempuh melalui program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID). Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal juga diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan momentum pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia terus mempererat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha. Bank Indonesia memperkuat dan memperluas kerja sama internasional di area kebanksentralan, termasuk melalui konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal, serta fasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait.
Ketidakpastian kebijakan moneter negara maju semakin mereda sejalan dengan terus melambatnya tekanan inflasi global. Di Amerika Serikat (AS), inflasi diperkirakan akan semakin mendekati sasaran inflasi jangka menengah sebesar 2% di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran. Perkembangan ini mendorong prospek penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih cepat dan lebih besar dari perkiraan semula. Sejalan dengan itu, yield US Treasury tenor 2 tahun menurun lebih besar sehingga menjadi lebih rendah dari yield US Treasury 10 tahun. Indeks mata uang AS terhadap mata uang negara utama (DXY) juga melemah. Di kawasan Eropa, European Central Bank (ECB) telah menurunkan suku bunga kebijakan moneternya sejalan dengan inflasi yang menurun ke arah sasaran jangka menengah sebesar 2%. Di Asia, People Bank of China (PBoC) juga telah menurunkan suku bunga sejalan dengan inflasi yang rendah dan permintaan domestik yang masih lemah. Berbagai perkembangan ini mendorong semakin meredanya ketidakpastian pasar keuangan global dan meningkatkan aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Ke depan, kejelasan arah penurunan suku bunga negara maju khususnya AS diprakirakan akan semakin mendorong aliran masuk modal asing dan memperkuat stabilitas eksternal negara berkembang. Perkembangan ini akan mendukung kebijakan ekonomi negara berkembang untuk tujuan ekonomi domestiknya dalam menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan perlu didorong agar lebih tinggi. Investasi terus tumbuh, khususnya investasi bangunan sejalan dengan tahapan finalisasi operasional Ibu Kota Nusantara (IKN) dan penyelesaian berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap terjaga, khususnya untuk kelas menengah ke atas. Ekspor nonmigas tetap baik sehingga turut menopang pertumbuhan ekonomi. Belanja Pemerintah yang diprakirakan meningkat pada akhir tahun diharapkan dapat juga menopang permintaan domestik. Berbagai indikator terkini, termasuk hasil survei Bank Indonesia, menunjukkan kegiatan ekonomi pada triwulan III 2024 yang baik, sebagaimana tecermin pada keyakinan konsumen yang tinggi, penjualan eceran yang positif, serta impor barang modal dan penjualan semen yang meningkat. Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi 2024 diprakirakan berada dalam kisaran 4,7-5,5%. Ke depan, berbagai upaya perlu terus ditempuh untuk mendorong pertumbuhan, baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran. Untuk itu, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar lebih tinggi, bersinergi erat dengan kebijakan stimulus fiskal Pemerintah. Dari sisi penawaran, kebijakan reformasi struktural perlu terus diperkuat untuk meningkatkan produktivitas dan memperkuat struktur pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja dan memiliki nilai tambah yang tinggi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap baik dan mendukung ketahanan eksternal. Defisit NPI triwulan II 2024 menurun ditopang oleh neraca transaksi modal dan finansial yang surplus serta defisit transaksi berjalan yang sehat. NPI triwulan III 2024 terus membaik ditopang oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan, yang pada Agustus 2024 tercatat sebesar 2,9 miliar dolar AS. Sementara itu, aliran masuk investasi portofolio terus berlanjut dan tercatat tinggi, dimana pada triwulan III 2024 (hingga 13 September 2024) mencatat net inflows sebesar 10,1 miliar dolar AS (qtd), yang terjadi pada seluruh instrumen keuangan domestik. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Agustus 2024 tercatat meningkat, sebesar 150,2 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, NPI 2024 diprakirakan tetap sehat, dengan transaksi berjalan dalam kisaran defisit rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB. Surplus neraca transaksi modal dan finansial diprakirakan meningkat didukung oleh berlanjutnya peningkatan aliran masuk modal asing, sejalan dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global, persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional, dan imbal hasil investasi di aset keuangan domestik yang tetap menarik.
Nilai tukar Rupiah menguat didukung oleh konsistensi bauran kebijakan moneter Bank Indonesia serta meningkatnya aliran masuk modal asing. Nilai tukar Rupiah pada September 2024 (hingga 17 September 2024) menguat menjadi Rp15.330/USD atau menguat 0,78% dibandingkan dengan posisi akhir Agustus 2024. Penguatan Rupiah ini tercatat lebih tinggi dibandingkan apresiasi mata uang regional seperti Won Korea dan Rupee India yang menguat sebesar 0,32% dan 0,13%. Dengan perkembangan tersebut, apabila dibandingkan dengan level akhir Desember 2023, nilai tukar Rupiah juga terapresiasi sebesar 0,40%, lebih baik dibandingkan dengan dinamika mata uang regional seperti Rupee India dan Won Korea yang masing-masing masih mengalami depresiasi sebesar 0,66% dan 3,41%. Ke depan, nilai tukar Rupiah diprakirakan terus menguat sejalan dengan menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi, dan tetap baiknya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta komitmen Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas perekonomian. Ke depan, seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI, untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk modal asing dan mendukung penguatan nilai tukar Rupiah.
Inflasi tetap rendah dan terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat rendah di seluruh komponen sehingga mencapai 2,12% (yoy) pada Agustus 2024. Inflasi inti tercatat sebesar 2,02% (yoy), sementara inflasi volatile food (VF) terus menurun menjadi 3,04% (yoy), dari level bulan sebelumnya 3,63% (yoy). Penurunan inflasi VF tercatat di sebagian besar wilayah Indonesia, didukung oleh peningkatan pasokan pangan seiring berlanjutnya musim panen, serta eratnya sinergi pengendalian inflasi TPIP/TPID melalui GNPIP. Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi IHK tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diprakirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah Bank Indonesia, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi. Inflasi VF diprakirakan terkendali didukung oleh sinergi pengendalian inflasi Bank Indonesia dan Pemerintah Pusat dan Daerah. Ke depan, Bank Indonesia terus berkomitmen memperkuat efektivitas kebijakan moneter guna menjaga inflasi tahun 2024 dan 2025 terkendali dalam sasaran 2,5±1%, dengan tetap mendukung upaya penguatan pertumbuhan ekonomi.
Optimalisasi instrumen moneter pro-market, yaitu SRBI, SVBI, dan SUVBI, terus dilakukan dalam rangka penguatan stabilitas nilai tukar Rupiah dan pencapaian sasaran inflasi. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mempercepat upaya pendalaman pasar uang dan pasar valas serta mendorong aliran masuk modal asing ke dalam negeri. Hingga 17 September 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp918,42 triliun, 2,95 miliar dolar AS, dan 280 juta dolar AS. Penerbitan SRBI telah mendukung upaya peningkatan aliran masuk portofolio asing ke dalam negeri dan penguatan nilai tukar Rupiah. Kepemilikan nonresiden dalam SRBI mencapai Rp246,08 triliun (26,79% dari total outstanding). Implementasi Primary Dealer (PD) sejak Mei 2024 juga semakin meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan repurchase agreement (repo) antarpelaku pasar, sehingga memperkuat efektivitas instrumen moneter dalam stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pengendalian inflasi. Ke depan, Bank Indonesia terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro-market, baik dari sisi volume maupun sisi daya tarik imbal hasil, dan didukung kondisi fundamental ekonomi domestik yang kuat, untuk mendorong berlanjutnya aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan domestik.
Transmisi kebijakan moneter terus berjalan baik. Suku bunga pasar uang (IndONIA) bergerak di sekitar BI-Rate, yaitu 6,44% pada 17 September 2024. Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan tanggal 13 September 2024 tercatat masing-masing pada level 6,99%, 7,09%, dan 7,11% sehingga tetap menarik untuk mendukung aliran masuk modal asing. Imbal hasil SBN tenor 2 dan 10 tahun menurun, per 17 September 2024 masing-masing sebesar 6,47% dan 6,55%, didorong meningkatnya permintaan nonresiden sejalan dengan menguatn ya aliran masuk modal asing ke pasar SBN. Sementara itu, likuiditas perbankan memadai sejalan dengan implementasi bauran kebijakan Bank Indonesia, termasuk Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Likuiditas yang memadai serta efisiensi perbankan dalam pembentukan harga yang semakin baik, yang antara lain didorong oleh publikasi asesmen transparansi SBDK, berdampak positif pada suku bunga perbankan yang tetap terjaga. Suku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga kredit pada Agustus 2024 tercatat masing-masing sebesar 4,73% dan 9,21%, stabil dibandingkan dengan level bulan sebelumnya.
Pertumbuhan kredit pada Agustus 2024 tetap kuat mencapai 11,40% (yoy). Perkembangan ini ditopang oleh sisi penawaran sejalan dengan minat penyaluran kredit yang terjaga, pendanaan yang memadai, realokasi alat likuid ke kredit oleh perbankan, dan dukungan KLM Bank Indonesia. Hingga minggu kedua September 2024, Bank Indonesia telah menyalurkan insentif KLM sebesar Rp256,1 triliun kepada kelompok bank BUMN sebesar Rp118,6 triliun, BUSN sebesar Rp110,5 triliun, BPD sebesar Rp24,4 triliun, dan KCBA sebesar Rp2,6 triliun. Insentif KLM tersebut disalurkan kepada sektor-sektor prioritas, yaitu Hilirisasi Minerba dan Pangan, UMKM, Sektor Otomotif, Perdagangan dan Listrik, Gas dan Air (LGA), serta sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pertumbuhan kredit juga didukung oleh sisi permintaan yang tetap baik dari korporasi, terutama korporasi di sektor padat modal, sedangkan permintaan kredit korporasi di sektor padat karya perlu terus ditingkatkan. Sementara itu, permintaan kredit rumah tangga terjaga, terutama pada sektor Properti. Secara sektoral, pertumbuhan kredit pada mayoritas sektor ekonomi tetap kuat, terutama pada sektor Industri, LGA, dan Pengangkutan. Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit ditopang oleh kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi, yang masing-masing tumbuh sebesar 10,75% (yoy), 13,08% (yoy), dan 10,83% (yoy) pada Agustus 2024. Pembiayaan syariah dan kredit UMKM tumbuh masing-masing sebesar 11,61% (yoy) dan 4,42% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan kredit 2024 diprakirakan berada pada batas atas kisaran 10-12%. Bank Indonesia akan terus memperkuat implementasi KLM, termasuk kepada sektor yang mendukung penciptaan lapangan kerja, sektor yang menjadi sumber pertumbuhan baru (sektor tersier), dan sektor yang dapat meningkatkan inklusivitas, termasuk kelas menengah bawah, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Ketahanan sistem keuangan terjaga baik. Likuiditas perbankan pada Agustus 2024 tetap memadai, tecermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang tinggi sebesar 25,37%. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada Juli 2024 tergolong kuat yang tercatat tinggi sebesar 26,56%, sehingga mampu menyerap risiko dan mendukung pertumbuhan kredit. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan pada Juli 2024 terjaga rendah, sebesar 2,27% (bruto) dan 0,79% (neto). Ketahanan permodalan dan likuiditas perbankan juga ditopang oleh kemampuan membayar dan profitabilitas korporasi yang terjaga, sebagaimana hasil stress test perbankan terkini. Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan bersama KSSK dalam memitigasi berbagai risiko yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital pada Agustus 2024 tetap kuat didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal. Dari sisi nilai besar, transaksi BI-RTGS meningkat 11,73% (yoy) sehingga mencapai Rp14.731 triliun. Dari sisi ritel, volume transaksi BI-FAST tumbuh 59,12% (yoy) mencapai 312,67 juta transaksi. Transaksi digital banking tercatat 1.871,19 juta transaksi atau tumbuh sebesar 31,11% (yoy), sementara transaksi Uang Elektronik (UE) tumbuh 21,53% (yoy) mencapai 1.246,58 juta transaksi. Transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM/D turun 6,82% (yoy) menjadi 591,92 juta transaksi. Transaksi kartu kredit tumbuh 22,79% (yoy) mencapai 41,59 juta transaksi. Transaksi QRIS kembali tumbuh pesat sebesar 217,33% (yoy), dengan jumlah pengguna mencapai 52,55 juta dan jumlah merchant 33,77 juta. Sementara dari pengelolaan uang Rupiah, jumlah Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) tumbuh 11,43% (yoy) menjadi Rp1.052,70 triliun.
Stabilitas sistem pembayaran tetap terjaga, ditopang oleh struktur yang membaik serta infrastruktur yang berdaya tahan. Dari sisi infrastruktur, kelancaran dan keandalan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (SPBI) tetap terjaga dengan baik. Dari sisi struktur industri, interkoneksi sistem pembayaran dan perluasan ekosistem Ekonomi Keuangan Digital (EKD) terus meningkat. Transaksi pembayaran berbasis Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) yang memfasilitasi interkoneksi di sistem pembayaran tumbuh positif didorong perluasan adopsi SNAP untuk berbagai jenis penggunaan. Sebagai salah satu inisiatif dari BSPI 2030, pada tanggal 11 September 2024, Bank Indonesia telah memberikan pengakuan kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Sistem Pembayaran Indonesia (LSP SPI) sebagai LSP yang berwenang menyelenggarakan sertifikasi di bidang sistem pembayaran. LSP SPI didirikan oleh Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) yang merupakan representasi dari industri sistem pembayaran, dan diharapkan dapat berperan aktif dalam menciptakan SDM sistem pembayaran yang memiliki knowledge, skill, dan attitude yang mumpuni dalam menghadapi tantangan sistem pembayaran di era digital. Bank Indonesia terus menjaga ketersediaan uang Rupiah dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang layak edar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk daerah 3T (Terdepan, Terluar, Terpencil).